Kamis, 20 Januari 2011

KUALITAS GURU YANG DIHARAPKAN

KUALITAS GURU YANG DIHARAPKAN,
DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belahar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut.
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input- proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok”sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Diataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan situasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.

A. Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individual. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah, melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnya disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya.. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank (banking action) ini. Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya. Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan.
Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, -----------------------------------------Murid diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, ---------------------Murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berfikir, --------------------------------------------Murid dipikirkan
4. Guru bercerita, ------------------------------------------Murid patuh mendengarkan
5. Guru menentukan peraturan, --------------------------Murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya,--------Murid menyetujuinya
7. Guru berbuat, ------------------------------------------Murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
8. Guru memiliki bahan dan isi pelajaran,---------- Murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, ----------------------------------------------Murid dibatasi kebebasannya.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, -------- Murid adalah obyek belaka
Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative. Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.

B. Pembelajaran Demokratis
Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Freire mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis.” Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.” tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa. Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah:
Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:
1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
2. Mempunyai komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
3. Memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan keprcayaan yang diberikan kepadanya.
Seiring dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok dengan kuirkulum ‘student centered”.
Selanjutnya perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetensi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry.
Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan siswa seperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar professional.

C. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi taruhan ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampuan guru menguasai pelajaran semata tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional
Oleh karena itu, Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek paling diandalkan. Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.. ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatir. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoeleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian bagaimanakah hubungan profesional dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional yaitu; kepribadian guru, penguasa ilmu atau bahan pelajaran, dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad. Ini berarti antara profesi dan kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.
Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
1. Memiliki suatu keahlian khusus
2. Merupakan suatu penggilan hidup
3. Memiliki teori-teori yang baku secara universal
4. Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
5. Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
6. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
7. Mempunyai kode etik
8. Mempunyai klien yang jelas
9. Mempunyai organisasi profesi yang kuat
10. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.
Ciri-ciri tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu:
1. Memiliki kualifikasi akademik S1
2. Memiliki kepribadian ideal sebagai guru;
3. Menguasaan landasan pendidikan;
4. Menguasai bahan pengajaran;
5. Memampuan menyusun program pengajaran;
6. Kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
7. Kemampuan menyelenggarakan program bimbingan;
8. Kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah;
9. Kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
10. Kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik, karena di dalamnya terkandung produktifutas. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu. dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figur guru menjadi panutan di kalangan masyarakat, setidaknya bagi para siswanya sendiri. Di sini predikat guru sebagai pendidik itu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya. Manajemen guru adalah manajemen uswatun chasanah (teladan yang baik)
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi.
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap gurui dinamis sebagai seorang professional. ‘seorang profesional adalah seorang yang terus menerus berkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membekali kemampuan kreativitas, rasionalitas, keterlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses yaitu:
1. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri.
2. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya,dari sisi siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan:
1. Belajar merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan
2. Ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan.
Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis.
Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
1. Sifat positif dalam membimbing siswa
2. Pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
3. Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
4. Mampu menguasai metodologi pembelajaran
5. Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
6. Mampu mereaksi kebutuhan siswa
7. Mampu menguasi manajemen kelas
Disamping itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan.
Demikian juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar.
Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar siswa. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis siswa yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses
Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional. Semoga kita mampu menjadi guru yang professional.

KTSP

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERDASARKAN KONSEP KTSP
Kehadiran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya berbagai perubahan dalam pengelolaan sekolah dan setiap perubahan harus dikelola dengan baik. Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. mengupas tentang manajemen perubahan kaitannya dengan implemenntasi KTSP di sekolah.
1. Konsep Visi Sekolah
Penerapan konsep manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah untuk dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut secara eksplisit. Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah kita saat ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan prioritas nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada umumnya perumusan visi sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang hampir sama yaitu “prestasi” dan “iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru jika sekolah hendak mengusung visi sekolah dengan merujuk pada kedua nilai tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi seragam, kurang spesifik serta kurang inspirasional mungkin masih patut untuk dipertanyakan kembali.
Boleh jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah (pemimpin dan warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumuskan visi yang paling tepat bagi sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun kesulitan dalam mengidentifikasi dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan di sekolah.
Dalam perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) organisasi sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat dalam melangkah ke masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998).
Saat ini tidak sedikit sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar, hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias asal-asalan atau setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi yang dicita-citakannya.
Visi bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar sebuah gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah rumusan yang dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai (Hopkins, 1996). Menurut Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan dan merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam organisasi. Bennis and Nanus (1985) mengartikan visi sebagai pandangan masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang didalamnya tergambarkan cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.
Memperhatikan pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah kiranya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan inspirasi dan memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk bekerja dengan penuh semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi sangat identik dengan perbaikan sekolah.
Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan dan upaya untuk pembentukan visi sekolah sangat bergantung pada pemimpin sekolah yang bersangkutan. Dalam hal ini pemimpin sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah kepada seluruh warga sekolah, agar dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam segala aktivitas keseharian di sekolah sehingga pada gilirannya dapat membentuk sebuah budaya sekolah.
Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak bisa dilakukan secara “top-down” yang bersifat memaksa warga sekolah untuk menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala sekolah) yang hanya membuat orang atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk berpartisipasi di dalamnya . Foreman (1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan dan dimandatkan dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan aspirasi pihak lain.
Untuk lebih jelasnya terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993) menawarkan beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:
a. Visi seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah yang diinginkan.
b. Visi akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan keutamaan atau keunggulan sekolah.
c. Visi seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
d. Visi seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
e. Masing-masing aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang:
(1) watak dan sifat manusia;
(2) tujuan pendidikan dalam sekolah;
(3) peran pemerintah, keluarga, masyarakat terhadap pendidikan dalam sekolah;
(4) pendekatan-pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran; dan
(5) pendekatan-pendekatan terhadap manajemen perubahan.
Dengan demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan keyakinan.
2. Rencana Pengembangan Sekolah
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) merupakan salah satu wujud dari salah satu fungsi manajemen sekolah yang amat penting, yang harus dimiliki sekolah untuk dijadikan sebagai panduan dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah, baik untuk jangka panjang (20 tahun), menengah (5 tahun) maupun pendek (satu tahun)
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) memiliki fungsi amat penting guna memberi arah dan bimbingan bagi para pelaku sekolah dalam rangka pencapaian tujuan sekolah yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan
Standar Nasional Pendidikan ( standar kelulusan, kurikulum, proses, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian pendidikan) merupakan substansi penting dalam sistem pengelolaan sekolah yang harus direncanakan sebaik-baiknya dan diakomodir dalam penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah.
Atas dasar itu, Depdiknas telah menyiapkan sebuah panduan teknis bagi sekolah dalam penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah.
3. Analisis Situasi Sekolah dalam Pengembangan KTSP
a. Rasional
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing sekolah. KTSP ini dikembangkan sesuai dengan tuntutan otonomi pendidikan. Pengembangan KTSP oleh sekolah sesuai dengan situasi dan konteks yang dimilikinya. Akan tetapi, sekolah tetap harus mengacu pada lingkup standar nasional pendidikan yang ada, sesuai dengan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Keleluasaan sekolah dalam mengembangkan KTSP tentu harus diikuti dengan analasis situasi sekolah untuk mencapai lingkup standar nasional pendidikan yang sudah ditetapkan, di antaranya Standar Isi (SI)dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendiknas no 23 tahun 2006. Hasil analisis tersebut merupakan dasar pijakan untuk menentukan kedalaman dan keluasan target-target yang ditetapkan, budaya yang akan dibangun, tujuan yang ingin dicapai, serta isi dan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan bermutu di sekolah tersebut. Pencapaian tujuan pendidikan bermutu tersebut sesuai dengan UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 5, yaitu “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Penyusunan dan pengembangan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru (BSNP, 2006: 33). Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: analisis sekolah, penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi, pemantapan dan penilaian (cf. BSNP, 2006: 33).

b. Tujuan
Tujuan Analisis Situasi Sekolah adalah (1) memperoleh gambaran nyata kondisi sekolah dan (2) memperoleh gambaran nyata situasi sekolah
c. Analisis Konteks
Analisis konteks dalam pelaksanaan penyusunan KTSP berwujud evaluasi diri (self evaluation) terhadap sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats ). Dalam hal ini dapat diterapkan kajian lingkungan internal untuk memahami strengths atau kekuatan dan weaknesses atau kelemahan, serta kajian lingkungan eksternal untuk mengungkap opportunities atau peluang dan threats atau tantangan. Adapun analisis konteks melalui SWOT terdiri atas hal-hal sebagai berikut (cf. BSNP, 2006: 32):
(1) Visi, misi, dan tujuan sekolah
(2) Identifikasi SI dan SKL
(3) Kajian internal atau kondisi sekolah (kekuatan dan kelemahan) yang meliputi:
(a) peserta didik,
(b) pendidik dan tenaga kependidikan,
(c) sarana dan prasarana,
(d) biaya,
(e) program-program
(4) Kajian eksternal atau situasi sekolah (peluang dan tantangan) yang dilihat dari masyarakat dan lingkungan sekolah yang meliputi:
(a) komite sekolah,
(b) dewan pendidikan,
(c) dinas pendidikan,
(d) asosiasi profesi,
(e) dunia industri dan dunia kerja,
(f) sumber daya alam dan sosial budaya.
d. Kajian Muatan KTSP
(1) Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah
Penetapan visi, misi, dan tujuan sekolah akan sangat berperan bagi pengembangan sekolah di masa depan. Visi dan misi saling berkaitan. Visi (vision) merupakan gambaran (wawasan) tentang sekoah yang diinginkan di masa jauh ke depan.
Misi (mission) ditetapkan dengan mempertimbangkan rumusan penugasan (yang merupakan tuntutan tugas “dari luar”) dan keinginan “dari dalam” (yang antara lain berkaitan dengan visi ke masa depan dan situasi yang dihadapi saat ini. Misi sebuah sekolah perlu mempertimbangkan misi induknya (dinas pendidikan kabupaten/kota). Misi diperjelas dan dijabarkan dengan tujuan sekolah (goals).
Tujuan sekolah seharusnya tidak betentangan dengan visi dan misi sekolah yang sudah ditetapkan. Perumusan tujuan harus nyata dan terukur.
Deskripsi visi, misi, tujuan seharusnya (1) tidak bertentangan dengan visi, misi, tujuan dinas pendidikan dan koheren dengan renstra depdiknas, (2) mencerminkan dengan jelas kebutuhan lokal dan nasional atau bahkan internasional berkaitan dengan kemampuan lulusan, (3) jelas bagi pihak-pihak yang berminat, ketercapaian tujuan dapat diamati, ditunjukkan dan dapat diuji secara objektif, dipersepsi sebagai sesuatu yang berharga oleh seluruh pihak yang berminat, realistis, (4) secara tersurat ada prioritas menghasilkan peserta didik yang bermutu.
(2) Identifikasi SI dan SKL
Para pendidik di sekolah perlu melakukan identifikasi SI dan SKL. Identifikasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: membaca secara saksama, memahami, mengkaji, dan membedah SI dan SKL. Hal itu perlu dilakukan supaya penerapan SI dan SKL di sekolah dan terutama dalam pembelajaran benar-benar baik.
(3) Situasi Internal atau Kondisi Sekolah
(a) Peserta Didik
Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik dapat dilihat dari input awal dan saat pembelajaran. Analisi ini meliputi rata-rata kemampuan akademik peserta didik, minat, dan bakat peserta didik. Jadi, analisis peserta didik meliputi analisis kemampuan akademik dan nonakademik.
(b) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Analisis terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sekolah. Analisis ini perlu dilakukan agar KTSP yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan sekolah dan dapat dilaksanakan secara maksimal. Dalam melakukan identifikasi, setidaknya perlu diperoleh informasi mengenai: jumlah pendidik dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental pendidik, latar belakang pendidikan dan/atau sertifat keahlian, kompetensi pendidik (pedagogik, kepribadian, profesional, sosial), rata-rata beban mengajar pendidik, rasio pendidik dan peserta didik, minat pendidik dalam pengembangan profesi, jumlah tenaga kependidikan dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental tenaga kependidikan, jenis keahlian, latar belakang tenaga kependidikan, dan minat tenaga kependidikan dalam pengembangan profesi.


(c) Sarana dan Prasarana
Analisis atas sarana yang dimiliki oleh sekolah meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.(SNP pasal 42 ayat 1).
Perabot di antaranya meliputi meja, kursi, papan tulis yang ada di setiap kelas. Peralatan meliputi peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain (cf. SNP pasal 43). Media pendidikan di antaranya alat peraga, OHP, LCD, slide, gambar yang mendukung ketercapaian pembelajaran. Yang termasuk dalam buku dan sumber belajar di antaranya adalah bahan cetakan baik jurnal, buku teks, maupun referensi; lingkungan; media cetak maupun elektronik; narasumber. Adapun bahan habis pakai meliputi bahan-bahan yang digunakan dalam praktik pembelajaran. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan semua sarana itu meliputi kepemilikan, kelayakan, jumlah, dan kondisi sarana yang ada.
Analisis atas prasarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan sekolah, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (SNP pasal 42 ayat 2). Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan prasarana di sekolah meliputi keberadaannya, rasio banyaknya, kelayakannya, dan kebersihannya.
(d) Biaya
Analisis biaya sesuai dengan pasal 62 tentang standar pembiayaan dalam SNP. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
-gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
-bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
-biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Analisis terhadap pembiayaan di sekolah mengarah pada kelemahan dan kekuatan pembiayaan di sekolah tersebut terhadap pengembangan dan pelaksanaan KTSP
(e) Program-program
KTSP disusun oleh sekolah untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan program-program meliputi: program pendidikan (antara lain: pemilihan mata pelajaran muatan nasional dan muatan lokal, pemilihan kegiatan pengembangan diri, penentuan pendidikan kecakapan hidup, penentuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global), program pembelajaran, program remedial, dan program pengayaan.
Ada atau tidaknya program, keterlaksanaan, serta kesesuaian program dengan kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah/ daerah merupakan analisis yang sangat diperlukan untuk mengembangkan KTSP.
4. Kondisi Masyarakat dan Lingkungan Sekolah
a. Komite Sekolah
Komite sekolah/madrasah merupakan pihak yang ikut berlibat dalam penyusunan KTSP di samping narasumber dan pihak lain yang terkait. Adapun tim penyusun KTSP terdiri atas pendidik, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota.
Pada tahap akhir, komite sekolah juga harus memberikan pertimbangan terhadap penyusunan KTSP. Dalam BSNP (2006: 5) disebutkan, pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, dalam SNP Pasal 51 ayat 2 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan pada sekolah dasar dan menengah di bidang nonakademik dilakukan oleh komite sekolah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Selain itu, komite sekolah juga memutuskan pedoman struktur organisasi sekolah dan biaya operasional sekolah. Komite sekolah juga memberikan masukan tentang tata tertib sekolah, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Pimpinan sekolah dan komite sekolah juga melakukan pemantauan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sekolah. Adapun pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala sekolah kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dari pihak komite sekolah/madrasah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.
b. Dewan Pendidikan
Dewan Pendidikaan beranggotakan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Dalam penyusunan KTSP, dewan pendidikan berperan sebagai lembaga yang dapat ikut memantau dan mengevaluasi pelaksanaan KTSP. Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap kepedulian dewan pendidikan perlu dilakukan untuk semakin memantapkan pengembangan KTSP.
c. Dinas Pendidikan
Dinas pendidikan kabupaten/kota bertugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pengembangan KTSP SMP. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Dalam hal ini, dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri atas para pendidik berpengalaman di bidangnya. Analisis terhadap peluang dan tantangan yang ada di dinas pendidikan perlu dilakukan guna pengembangan KTSP.
d. Asosiasi Profesi
Ada beberapa asosiasi profesi secara umum yang ikut mendukung profesionalisme pendidik. Akan tetapi, secara lebih khusus, asosiasi profesi untuk para pendidik/guru mata pelajaran di SMP terwujud dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang meliputi MGMP sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. MGMP dapat berperan pula sebagai tim yang menyusun silabus mata pelajaran tertentu. Keberadaan tim ini akan sangat membantu pengembangan KTSP. Peluang dan tantangan atas keberadaan MGMP perlu dianalisis untuk pengembangan KTSP.
e. Dunia Industri dan Dunia Kerja
Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah relevan dengan kebutuhan kehidupan. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan (BSNP, 2006).
Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah dunia industri dan dunia kerja serta perkembangan ipteks. Dalam KTSP, rencana kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Dalam hal ini, dunia indsutri di sekitar sekolah dapat diberdayakan untuk menunjang program pendidikan sekolah yang bersangkutan. Contoh: di dekat sekolah ada industri kerajinan, peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai kompetensi dasar sesuai konteks industri kerajinan tersebut. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dunia industri dan dunia kerja di lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk pengembangan KTSP.

MANAJEMEN TENAGA KEPENDIDIKAN

MANAJEMEN TENAGA KEPENDIDIKAN
A. Tenaga Kependidikan
Dalam masyarakat tenaga kependidikan masih dianggap mempunyai dua arti yaitu guru yang ada dalam masyarakat (informal) seperti guru mengaji,ustad maupun orang tertua atau disegani dalam masyarakat tersebut. Yang kedua yaitu tenaga kependidikan formal yaitu guru yang ada dalam sekolah-sekolah. Namun peran guru disini tidak hanya di sekolah saja tetapi juga di lungkungan masyarakatnya sehari-hari. Dalam pembahasan ini lebih menekankan tenaga pendidikan yang bersifat formal dimana memenuhi kriteria dan sah menurut hukum atau peraturan yang berlaku.
Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Dimana tenaga kependidikan tersebut memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-uandang yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas dalam suatu jabatan dan digaji pula menurut aturan yang berlaku.

B. Jenis Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan merupakan seluruh komponenyang terdapat dalam instansi atau lembaga pendidikan yang tidak hanya mencakup guru saja melainkan keseluruhan yang berpartisipasi dalam pendidikan. Dilihat dari jenisnya tenaga kependidikan terdiri atas :
a. Kepala Sekolah
b. Guru ( kelas, agama, penjaskes, muatan lokal )
c. Tenaga Administrasi / TU
d. Penjaga Sekolah / kebersihan sekolah
e. Tenaga Fungsional lainnya ( Guru BP, Pustakawan, laboran dan teknisi sumber
belajar )
Sedangkan apabila dilihat dari statusnya, tenaga kependidikan terdiri atas :
a. Pegawai negeri sipil ( PNS )
b. Guru tidak tetap
c. Guru bantu
d.Tenaga sukarela

C. Manajemen Tenaga Kependidikan
Manajemen tenaga kependidikan merupakan kegiatan yang mencakup penetapan norma, standar, prosedur, pengangkatan, pembinaan, penatalaksanaan, kesejahteraan dan pemberhentian tenaga kependidikan sekolah agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mencapai tujuan sekolah.
Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Untuk mewujudkan keseragaman perlakuan dan kepastian hukum bagi tenaga kependidikan sekolah dasar dalam melaksanakan tugas dan fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Konsep Manajemen Tenaga Kependidikan, tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Adapun komponen dari manajemen ini adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan formasi
b. Pengadaan pegawai
c. Kenaikan pangkat
d. Pembinaan dan pengembangan karier pegawai
e. Ketatalaksanaan tenaga kependidikan
1) Pembuatan Buku Induk Pegawai
2) Daftar Urut Kepegawaian ( DUK )
3) Kartu Pegawai ( KARPEG )
4) Tabungan Asuransi Pegawai ( TASPEN )
5) Asuransi Kesehatan ( ASKES )
6) Kartu Istri ( KARIS ) dan Kartu Suami ( KARSU )
f. Pemberhentian Pegawai
Sedangkan terdapat beberapa dimensi kegiatan manajemen tenaga kependidikan/ kepegawaian, antara lain :
a) Recruitment atau penarikan mulai dari pengumuman penerimaan pegawai, pendaftaran, pengetesan, pengumuman diterimanya pegawai sampai dengan daftar ulang.
b) Placement atau penempatan, yaitu proses penanganan pegawai baru yang sudah melaksanakan pendaftaran ulang untuk diberi tahu pada bagian seksi mana mereka ditempatkan. Penugasan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian dan kebutuhan lembaga. Didalam tahap ini sebenarnya penanganan bukan berarti sampai menempatkan dan memberi tugas saja, tetapi juga menggunakan pegawai tersebut sebaik-baiknya, merangsang kegairahan kerja dengan menciptakan kondisi atau suasana kerja yang baik. Di samping itu juga memberi kesejahteraan pegawai berupa gaji, insentif, memberi cuti izin, dan pertemuan-pertemuan yang bersifat kekeluargaan.
c) Development atau pengembangan, dimaksudkan untuk penigkatan mutu pegawai baik dilakukan dengan melalui pendidikan maupun kesempatan-kesempatan lain seperti penataran, diskusi ilmiah, lokakarya, membaca majalah dan surat kabar, menjadi anggota organisasi profesi dan lain sebagainya. Mengatur kenaikan pangkat dan kenaikan gaji, dapat dikategorikan sebagai pemberian kesejahteraan dan dapat dikategorikan sebagai pengembangan pegawai. Pegawai yang diberi penghargaan dengan atau pemberian kedudukan, akan mendorong pegawai tersebut untuk lebih meningkatkan tanggung jawabnya.
d) Pengawasan atau evaluasi, merupakan aspek terakhir dalam penanganan pegawai. Pada tahap ini dimaksudkan bahwa pada tahap-tahap tertentu pegawai diperiksa, apakah yang mereka lakukan sudah sesuai dengan tugas yang seharusnya atau belum. Selain evaluasi atau penilaian juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kenaikan kemampuan personil setelah mereka memperoleh pembinaan dan pengembangan.


D. Pengadaan Tenaga kependidikan
Pengadaan tenaga kependidikan diselengarakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pengumuman
Pengumuman ini dilakukan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat yang memenuhi kualifikasi melalui media cetak maupun media elektronik. Dalam pengumuman pengadaan tenaga kependidikan,hal yang harus tercantum adalah sebagai berikut:
Jenis atau macam pegawai yang dibutuhkan
• Persyaratan yang dituntut dari para pelamar.
• Batas waktu dimulai dan diakhiri pendaftaran.
• Alamat dan tempat pengajuan pelamaran.
• Lain-lain yang dipandang perlu.
2. Pendaftaran
Pendaftaran dilakukan setelah pengumuman tersebar dan pendaftar mengajukan pemohonan dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan beserta lampiran lainnya yang dibutuhkan.
3. Seleksi atau penyaringan
Dalam pengadaan tenaga kependidikan, penyaringan dilaksanakan melalui dua tahap yaitu:
a) Penyaringan administrative
Penyaringan administrative dilaksanakan berupa pemeriksaan terhadap kelengkapan beserta lampirannya. Apabila terdapat kekurangan lengkapan dalam hal administrative maka pesrta tersebut akan gagal.
b) Ujian atau test
Setelah peserta yang lulus dala tes penyaringan administrative maka akan mengikuti ujian pegawai dengan materi pengetahuan umum, pengetahuan tehnis, dan lainnya yang dipandang perlu.
4. Pengumuman.
Pengumuman ini berisi peserta yang lolos dalam seleksi sesuai ketentuan dan penempatan kerja.
E. Pengangkatan Dan Penempatan Tenaga Kependidikan
Pengangkatan dan penempatan tenaga kependidikan yang bukan tenaga pendidik pada satuan pendidikan yang disclenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri, Menteri lain, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan memperhatikan keseimbangan antara penempatan dan kebutuhan serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri.
Pengangkatan dan penempatan tenaga kependidikan yang bukan tenaga pcndidik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan olch masyarakat dilakukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh penyelenggara dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pendidik, calon tenaga pendidik yang bersangkutan selain memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar harus pula memenuhi persyaratan berikut:
1. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan tanda bukti dari yang berwenang, yang meliputi:
a. tidak menderita penyakit menahun (kronis) dan/atau yang menular.
b. tidak memiliki cacat tubuh yang dapat menghambat pelaksanaan tugas sebagai tenaga pendidik.
c.tidak menderita kelainan mental.
2.Berkepribadian, yang meliputi:
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.bcrkepribadian Pancasila.

F. Pembinaan Tenaga Kependidikan
Pembinaan karier tenaga kependidikan meliputi kenaikan pangkat dan jabatan berdasarkan prestasi kerja dan peningkatan disiplin.Yang pembinaan disini adalah segala usaha untuk memanajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan, demi kelancaran pelaksanaan tugas pendidikan. Adapun alas an diadakannya pengembangan tehnologi diantaranya yaitu:
1. perkembanagan ilmu dan tehnologi.
2. menutup kelemahan dari seleksi.
3. menumbuhkan ikatan batin.
Dalam hal pengembangan pegawai, banyak cara yang sudah dikembangkan. pengembangan ini dilaksanakan dengan:
1. Bimbingan berupa petunjuk yang diberikan kepada pegawai, pada waktu melaksanakan tugasnya.
2. Latihan-latihan berupa intern dan ekstern.
3. Pendidikan formal
4. Promosi berupa pengangkatan jabatan ke yang lebih tinggi.
5. Penataran
6. Lokakarya atau workshop
7. dan sebagainya.

G. Pemindahan tenaga Kependidikan
Mutasi mempunyai pengertian luas, dimana segala perubahan jabatan seorang tenaga kependidikan. Mutasi ini juga diartikan sebagai pemindahan wilayah kerja. Dilakukannya mutasi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya atas tugas dinas maupun permintaan sendiri. Tujuan diadakannya mutasi ini adalah:
1. Untuk menghilangkan rasa bosan.
2. Dalam rangka pembinaan pegawai agar mendapat pengalaman yang luas.
3. Dalam rangka penataan kembali pegawai sehingga menemukan tempat yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

H. Pemberhentian Tenaga Kependidikan
Pemberhentian seorang pegawai dapat karena pelanggaran disiplin, pengunduran diri, pengurangan tenaga atau pensiun. Aturan tentang pemberhentian pegawai harus jelas karena menyangkut nasib seseorang, terutama tentang pemberhentian karena pelanggaran disiplin dan pengurangan tenaga karena dapat memicu ketidakpuasan seseorang yang dikenai tindakan ini. Untuk pemberhentian karena pengunduran diri harus dilihat apakah pegawai yang bersangkutan memiliki ikatan atau perjanjian tertentu dengan sekolah atau tidak. Sedangkan pemberhentian karena memasuki usia pensiun sebaiknya didahului oleh program persiapan pensiun.
Pemberhentian dengan hormat tenaga kependidikan atas dasar:
1. permohonan sendiri.
2. meninggal dunia.
3. mencapai batas usia pensiun, dilakukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Sedangkan pemberhentian tidak dengan hormat tenaga kependidikan dilakukan atas dasar:
1. Hukuman jabatan;
2. Akibat pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dilakukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Selain itu, dalam Pemberhentian tenaga kependidikan dapat dilakukan karena sebab lain diantaranya sebagai berikut :
1. Pemberhentian atas permintaan sendiri
2. Pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun
3. Pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi
4. Pemberhentian karena melakukan pelanggaran
5. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani
6. Pemberhentian karena meninggalkan tugas
7. Pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang

PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN PENDIDIKAN

PRINSIP – PRINSIP MANAJEMEN PENDIDIKAN

Untuk menjamin keberhasilan sebuah usaha maka manajemen haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen. Prinsip-prinsip manajemen adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Menurut Henry Fayol. Prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:
1. Pembagian kerja (Division of work)
Dalam pembagian kerja perlu diperhatikan penempatan orang-orang yang sesuai dengan keahlian, pengalaman, kondisi fisik dan mental. Tujuan pembagian kerja adalah agar diperoleh hasil kerja yang terbaik. Pembagian kerja dapat membantu pemusatan tujuan dan merupakan alat terbaik untuk memanfaatkan individu-individu dan kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Oleh karena itu, dalam penempatan personil dalam organisasi atau karyawan dalam lembaga/perusahaan harus menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike (senang dan tidak senang).
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.
2. Pemberian Wewenang dan Tanggung Jawab (Authority and responsibility)
Setiap personil atau karyawan yang ditempatkan pada posisi prembagian tugasnya, harus dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Setiap pekerjaan harus dapat memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan wewenang. Oleh karena itu, makin kecil wewenang makin kecil pula pertanggungjawaban demikian pula sebaliknya.
Tanggung jawab terbesar terletak pada manajer puncak. Kegagalan suatu usaha bukan terletak pada karyawan, tetapi terletak pada puncak pimpinannya karena yang mempunyai wewemang terbesar adalah manajer puncak. oleh karena itu, apabila manajer puncak tidak mempunyai keahlian dan kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
Setiap orang yang telah diserahi tugas dalam bidang pekerjaan tertentu dengan sendirinya memiliki wewenang untuk membantu memperlancar tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Wewenang tersebut harus disertai tanggungjawab terhadap atasan atau terhadap tujuan yang hendak dicapai. Antara wewenang dan tangungjawab harus seimbang.
Wewenang adalah hak memberikan perintah dan kekuasaan meminta kepatuhan dari yang diperitah. Sedangkan Tangungjawab adalah tugas dan fungsi-fungsi atau kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang petugas.
3. Memiliki Disiplin (Discipline)
Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena ini, pemegang wewenang harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap pekerajaan sesuai dengan weweanng yangdipegangnya. Tertib atau disiplin akan meningkatkan kualitas kerja, dan peningkatan kualitas kerja akan pula menaikkan mutu hasil kerja. Dalam setiap organisasi, lembaga atau perusahaan akan berhasil seperti yang diinginkan, maka haruslah menciptakaan aturan atau tata tertib yang mapan, dan tata tertib tersebut haruslah dilakukan dengan penuh disiplin oleh seluruh kompoten yang ada dalam organisasi, lembaga atau perusahaan tersebut.
4. Adanya Kesatuan Komando atau perintah (Unity of command)
Dalam organisasi atau perusahaan, seorang pemimpin atau manajer harus memperikan perintah kepada bawahannya, harus jelas komando atau perintahnya. Jika dalam organisasi atau perusahaan mempunyai jenjang struktur, perintah dari pimpinan yang paling atas ke pimpinan di bawahnya harus satu bahasa dan satu kesatuan perintah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pemahaman yang diterima oleh bawahannya. Begitu juga dalam melakasanakan pekerjaan dari atasannya , personil atau karyawan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesui dengan wewenang yang diperolehnya. Perintah yang datang dari manajer lain kepada serorang karyawan akan merusak jalannya wewenang dan tanggung jawab serta pembagian kerja. Untuk setiap tindakan dan bagi setiap petugas harus menerima perintah hanya dari seorang atasan saja. Jika perintah datang hanya dari satu sumber maka setiap orang juga akan tahu kepada siapa ia harus bertanggungjawab sesuai wewenang yang telah diberikan kepadanya.
5. Adanya Kesatuan Arahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, personil atau karyawan perlu diarahkan menuju tujuan yang menjadi sasarannya. Seorang pemimpin atau manajer harus dapat member pengarahan yang jelas terhadap anak buahnya. Kejelasan komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan juga harus jelas struktur kalimat yang digunakan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Begitu juga dalam memberikan arahan antara pimpinan satu dengan pimpinan yang lain harus ada kesatuan bahasa atau kesatuan arah yang jelas. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian kerja. Kesatuan pengarahan tergantung pula terhadap kesatuan perintah. Dalam pelaksanaan kerja bisa saja terjadi adanya dua perintah sehingga menimbulkan arah yang berlawanan. Oleh karena itu, perlu alur yang jelas dari mana karyawan mendapat wewenang untuk pmelaksanakan pekerjaan dan kepada siapa ia harus mengetahui batas wewenang dan tanggung jawabnya agar tidak terjadi kesalahan. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of directiion) tidak dapat terlepas dari pembaguan kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.
6. Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri
Setiap komponen organisasi, lembaga atau perusahaan baik pimpinan atau personil/karyawan harus mengabdikan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi atu perusahaan. Hal semacam itu merupakan suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar sehingga tujuan yang direncanaakan dapat tercapai dengan baik.
Jika Setian unsur organisasi atau perusahaan , baik pimpinan atau karyawan dapat mengabdikan kepentingan pribadinya untuk kepentingan organisasi, maka kesuksesan mmbangun organisasi atau perusahaan dapat diwujudkan dengan mudah. Adanya kesadaran bahwa kepentingan pribadi sebenarnya tergantung kepada berhasil-tidaknya kepentingan organisasi, itulah sebenarnya wujud prinsip yang harus dibangun. Prinsip pengabdian kepentingan pribadi kepada kepentingan organisasi dapat terwujud, apabila setiap pimpinan dan karyawan merasa senang dalam bekerja sehingga memiliki disiplin yang tinggi.
7. Adanya Pemberian Kesejahteraan atau gaji pegawai
Imbalan kerja, upah, gaji atau apapun namanya, bagi setiap personil organisasi, lembaga atau perusahaan, merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya kelancaran dalam bekerja. Karyawan atau staf yang memliki perasaan cemas, tertekan dan kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-harinya akan sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam bekerja. Oleh karena itu, dalam prinsip pemberian kesejahteraan, imbalah atau penggajian harus dipikirkan bagaimana agar karyawan dapat bekerja denganrasa senang, tenang dan nyaman. Sistem penggajian harus diperhitungkan agar menimbuulkan kedisiplinan dan kegairahan kerja sehingga karyawan berkompetisi untuk membuat prestasi yang lebih besar. Prinsip more pay for more prestige (upaya lebih untuk prestasi lebih), dan prinsip upah sama untuk prestasi yang sama perlu diterapkan sebab apabila ada perbedaan akan menimbulkan kelesuan dalam bekerja dan mungkin akan menimbulkan tindakan tidak disiplin. Prinsip keadilan dan pemberian sesuai job, harus juga dikomunkasikan terlenih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kecermburuan social dalam organisasi atau perusahaan terebut.
8. Adanya Pemusatan Wewenang (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak ada orang yang memegang wewenang tertinggi atau manajer puncak. Pemusatan bukan berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)
9. Adanya Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada manajer puncak dan seterusnya berurutan ke bawah. dengan adanya hirarki ini, maka setiap karyawan akan mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab dan dari siapa ia mendapat perintah.
10. Adanya Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait dengan moral karyawan dan tidak dapat dipisahkan. Keadilan dan kejujuran harus ditegakkan mulai dari pimpinan (atasan) karena pimpinan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil dan jujur akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan dan kejujuran pada bawahannya. Keadilan dituntut misalnya dalam penempatan tenaga kerja yang harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan pendidikan, pengalaman dan keahlian seseorang. Kecuali itu keadilan juga dituntut dalam pembagian upah, sesuai berat ringannya pekerjaan dan tanggungjawab seseorang.
Kejujuran dituntut agar masing-masing orang bekerja untuk kepentingan bersama bukan mendahulukan kepentingan pribadi.
11. Adanya Stabilitas kondisi karyawan
Dalam setiap kegiatan kestabilan karyawan harus dijaga sebaik-baiknya agar segala pekerjaan berjalan dengan lancar. Kestabilan karyawan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.
12. Adanya Prakarsa (Inisiative)
Prakarsa timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-beiknya. Jadi dalam prakarsa terhimpun kehendak, perasaan, pikiran, keahlian dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, setiap prakarsa yang datang dari karyawan harus dihargai. Prakarsa (inisiatif) mengandung arti menghargai orang lain, karena itu hakikatnya manusia butuh penghargaan. Setiap penolakan terhadap prakarsa karyawan merupakan salah satu langkah untuk menolak gairah kerja. Oleh karena itu, seorang manajer yang bijak akan menerima dengan senang hari prakarsa-prakarsa yang dilahirkan karyawannya.
13 Semangat kesatuan dan semangat korps
Setiap karyawan harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa senasib sepenanggyungan sehingga menimbulkan semangat kerja sama yang baik. semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan berarti bagi karyawan lain dan karyawan lain sangat dibutuhkan oleh dirinya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksa dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp) dan membawa bencana.
B. Penerapan Prinsip Manajemen pada Pendidikan
Ada 3 faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu:
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input – input analisis yang tidak konsisten.
2. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik.
3. Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
1. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan.
2. Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education)
3. Dengan menggunakan paradigma belajar yang akan menjadikan pelajar-pelajar menjadi manusia yang diberdayakan.
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut adalah:
1. Siswa: a. Kesiapan dan motivasi belajar siswa
b. Sarasan belajar siswa
2. Guru: a. Kemampuan professional.
b. Moral kerjanya (kemampuan personal).
c. Kerjasamanya (kemampuan social)
3. Kurikulum : Relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya.
4. Sarana dan prasarana : Kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.
5. Masyarakat : Partisipasinya dalam mengembangkan program-program pendidikan.

PENERAPAN FUNGSI MANAJEMEN DALAM PENDIDIKAN

PENERAPAN FUNGSI MANAJEMEN DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan di Indonesia menganut konsep pendidikan seumur hidup. Oleh sebab itu pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Agar tujuan pendidikan nasional dapat terwujud, maka pendidikan itu sendiri membutuhkan pengelolaan secara baik. Pengelolaan pendidikan baik oleh pemerintah dan swasta untuk jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah diselenggarakan oleh Mendikbud atau menteri lain, sedang satuan pendidikan yag didirikan oleh masyarakat diselenggarakan oleh yayasan atau badan yang bersifat sosial.
Kepala sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, rektor pada tingkat uninversitas /institut, ketua pada tingkat akademi/sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Dalam kontek manajemen pendidikan, agar pimpinan atau kepala sekolah dan kinerja guru dalam aplikasinya di lembaga persekolahan agar dapat mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Di lembaga pendidikan selain praktisi pendidikan (perencana) pendidikan, maka ujung tombak yang mampu mengangkat keberhasilan pendidikan adalah para guru, termasuk di dalamnya adalah guru yang bertindak sebagai kepala sekolah (manajer pendidikan). Dengan mengacu pada penerapan fungsi manajemen di atas dan atas dasar pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya Performance Management, di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.
Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
“… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan”.
Dari ungkapan di atas, maka manajemen pendidikan yang lebih terfokus bagaimana kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah sebagai pimpinan lembaga pendidikan tersebut untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang fungsi-fungsi manajemen di atas dapat diaplukasikan dalam program kegiatan kependidikan. Kepala sekolah dan guru dalam tugasnya sebagai pemimpin pendidikan, dalam hal ini secara esensial yang diharapkan mampu melakukan proses manajerial secara utuh. Ukuran keterlibatan secara optimal seorang kepala sekolah dan guru dapat dilihat dari:
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan kepala sekolah dan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2. Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.
Robert Bacal memberikan gambaran pula bahwa dalam manajemen pendidikan diantaranya meliputi perencanaan, komunikasi yang berkesinambungan dan evaluasi dari seluruh proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang ideal.
Perencanaan merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama untk merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana suatu program dapat diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi masalah, serta mencapai pemahaman bersama tentang tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik.
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Dalam konsep ini pimpinan dan guru dalam lembaga pendidikan mmpunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan. .
Evaluasi dalam fungsi manajenen adalah salah satu bagian dari manajemen pendidikan , yang merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru secara perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang kepala sekolah dan guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja lewat supervise pendidikan, penting sekali bagi system pendidikan persekolahan untuk menghindari dua perangkap.
Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”.
Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru.
Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu :
1. Untuk mengukur kompetensi guru dan
2. Mendukung pengembangan profesional.
Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan :
1. Keterampilan-keterampilan dalam mengajar;
2. Bersifat seobyektif mungkin;
3. Komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan
4. Dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat.
Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1. Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2. Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi)
3. Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator :
a. Penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak;
b. Menyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru;
c. Menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi;
d. Menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik;
e. Memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.

UPAYA PEMECAHAN PENDIDIKAN NASIONAL

UPAYA PEMECAHAN PENDIDIKAN NASIONAL
Sikap mental bawahan yang bekerja bukan atas tanggung jawab, tetapi hanya karena diperintah atasan akan membuat pekerjaan yang dilaksanakan hasilnya tidak optimal. Guru hanya bekerja berdasarkan petunjuk dari atas, sehingga guru tidak bisa berinisitiaf sendiri. Sementara itu pimpinan sendiri punya sikap mental yang negatif dimana ia tidak bisa memberikan kesempatan bagi bawahan untuk berkarir dengan baik, bawahan harus mengikuti pada petunjuk atasan, bawahan yang selalu dicurigai, bawahan yang tidak bisa bekerja sesuai dengan caranya. Kenyatan ini karena profil kepala sekolah yang belum menampilkan gaya entrepeneur dan gaya memimpin situasional.
Penelitian Usman (1996) menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS) di SMK mengalami kegagalan karena kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan potensi sekolah. Akibatnya, setiap hierarki yang berada di bawah kekuasaan bersikap masa bodoh, apatis, diam supaya aman, menunggu perintah, tidak kreatif dan tidak inovatif, kurang berpartisipasi dan kurang bertanggung jawab, membuat laporan asal bapak senang dan takut mengambil resiko.
Kelemahan sistem sentralistik dengan komunikasi dari atas ke bawah lebih menekankan fingsinya sebagai line of command dan tidak fungsinya sebagai line of services, hal ini tampaknya merintangi perkembangan-perkembangan potensi SDM untuk memcahkan masalah-masalah khusus on the spot (Sutisna, 1972 dalam Husaini Usman, 2001).Hal tersebut merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen mutu pendidikan, maka solusinya adalah dengan diadakannya penerapan pendidikan yang tidak sentralistik, sehingga pola manajemen pendidikan dapat disesuaikan dari pola lama ke pola baru.
Program peningkatan mutu pendidikan tidak akan jalan jika setelah diadakannya monitoring dan evaluasi tanpa ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan (controlling) dalam manajemen berguna untuk membuat agar jalannya pelaksanaan manajemen mutu sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan bertujuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan. Apa-apa yang salah dintinjau ulang dan segera diperbaiki. Tidak adanya tindak lanjut bisa disebabkan karena rendahnya etos kerja para pengelola pendidikan, iklim organisasi yang tidak menyenangkan. Mengenai etos kerja Pidarta (1998), mengutip hasil penelitian Internasional bahwa Indonesia sebagai bangsa termalas nomor tiga dari 42 negara termalas di dunia.
Agar program dapat dimonitor dan ditindaklanjuti maka perlu melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan partisipatif ialah suatu cara pengambilan keputusan yang terbuka dan demokratis yang melibatkan seluruh stakeholders di dewan sekolah. Asumsinya jika seseorang diundang untuk pengambilan keputusan, maka ia kan merasa dihargai, dilibatkan, memiliki, bertanggung jawab. Pelibatan stakeholders didasarkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinyan dengan tujuan pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, akan mengakibatkan gagalnya pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Kepala sekolah harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
1. Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa
2. Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau SK.
3. Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya menciptakan rasa takut.
4. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
5. Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana yang menjemukan
6. Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba kekurangan (Boediono, 1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output yang diharapkan.
Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) :
1. Kepala sekolah:
a. Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi);
b. Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas);
c. Memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat);
d. Memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya;
e. Memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai;
f. Memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
2. Kepala sekolah menggunakan "pendekatan sistem" sebagai dasar cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir "sebab-akibat" (ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif + kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
3. Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya.
4. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
Catatan: manajer tangguh, menurut hasil-hasil penelitian kelas kakap dunia, paling tidak memiliki sejumlah kompetensi seperti berikut. Menurut Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu: (a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and adaptable to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability to solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high personal standards.
Sedang American Management Association (1998) menuliskan 18 kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation, (b) proactivity, (c) concern with impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing others, (g) spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i) self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual objectivity, (l) positive regard, (m) managing group process, (n) use of sosialized power, (o) self-confidence, (p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral presentation.
5. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan sekolah-masyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
6. Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
7. Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
8. Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah.
9. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah belajar .
10. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah).
11. Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
12. Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000), terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya.
Kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awalï belum membudaya merupakan penghalang dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu. Untuk itu perlu ditanamkan kepada warga sekolah untuk mempunyai asa memiliki bangga terhadap sekolahnya. Hal ini bisa terlaksana jika para warga sekolah itu merasa puas terhadap pelayanan sekolah.
Dalam MMT (Manajemen Mutu Terpadu) keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika :
1. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah.
2. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program sekolah.
3. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas sesuai harapan
4. Guru dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. (Panduan Manajemen Sekolah, 2000:193).

PROFESIONALISME GURU

PROFESIONALISME GURU
Profesionalisme menjadi taruhan ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampuan guru menguasai pelajaran semata tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional
Oleh karena itu, Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek paling diandalkan. Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.. ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatir. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoeleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian bagaimanakah hubungan profesional dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional yaitu; kepribadian guru, penguasa ilmu atau bahan pelajaran, dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad. Ini berarti antara profesi dan kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.
Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
1. Memiliki suatu keahlian khusus
2. Merupakan suatu penggilan hidup
3. Memiliki teori-teori yang baku secara universal
4. Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
5. Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
6. Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
7. Mempunyai kode etik
8. Mempunyai klien yang jelas
9. Mempunyai organisasi profesi yang kuat
10. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.
Ciri-ciri tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu:
1. Memiliki kualifikasi akademik S1
2. Memiliki kepribadian ideal sebagai guru;
3. Menguasaan landasan pendidikan;
4. Menguasai bahan pengajaran;
5. Memampuan menyusun program pengajaran;
6. Kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
7. Kemampuan menyelenggarakan program bimbingan;
8. Kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah;
9. Kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
10. Kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik, karena di dalamnya terkandung produktifutas. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu. dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figur guru menjadi panutan di kalangan masyarakat, setidaknya bagi para siswanya sendiri. Di sini predikat guru sebagai pendidik itu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya. Manajemen guru adalah manajemen uswatun chasanah (teladan yang baik)
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi.
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap gurui dinamis sebagai seorang professional. ‘seorang profesional adalah seorang yang terus menerus berkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membekali kemampuan kreativitas, rasionalitas, keterlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses yaitu:
1. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri.
2. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya,dari sisi siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan:
1. Belajar merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan
2. Ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan.
Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis.
Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
1. Sifat positif dalam membimbing siswa
2. Pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
3. Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
4. Mampu menguasai metodologi pembelajaran
5. Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
6. Mampu mereaksi kebutuhan siswa
7. Mampu menguasi manajemen kelas
Disamping itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan.
Demikian juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar.
Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar siswa. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis siswa yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses
Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional. Semoga kita mampu menjadi guru yang professional.